Sabtu, 19 Juni 2010

"my new sepeda"


Pada usiaku 5 tahun, aku lagi suka-sukanya dengan sepeda, padahal aku sadar karna aku bukanlah orang yang mempunyai harta yang melimpah, yang dapat meminta kepada kedua orang tuanya apa saja, namun aku hanya mampu meminjam sepeda dengan teman-temanku, dan saat aku dan ibuku sedang berkumpul di suasana senja, aku mencoba mengungkapkan keinginan ku, dimana aku berharap dengan setengah harapan akan di kabulkannya keinginanku, dan aku berkata “emak, heri minta sepeda yah?” ibuku tertegun memandangku seraya berkata “emak enggak bisa janji, tapi kalo ada rejekinya insya Allah, emak beliin”. Aku pun tak terlalu berharap akan dikabulkannya keinginanku, dan tak mau membebani ibuku yang tak lagi muda dan hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum ayahku yang tak seberapa.
Pada suatu hari aku hanya dapat melihat teman-temanku dengan cerianya bermain sepeda, terkadang temanku merasakan risih karna aku selalu meminjam sepedahnya, dan sering kali aku mendapat ejekan karna aku tak mempunyai sepeda seperti teman-temanku, aku hanya dapat tertunduk untuk menyadari bahwa aku tak mempunyai sepeda dan bukan dari golongan orang yang berkecukupan. pada saat itu ibuku melihatku dari kejauhan, mungkin saat ibuku melihatku, aku hanya dapat melihat dan meminjam, jadi ibuku tidak tega dan berusaha meminjam uang dari Bank Rakyat dimana ibuku mengambil uang pensiunan ayahku, dan uang pinjaman itu untuk membayarnya di potong dari uang pensiunan. Dan dihari minggu, saat libur sekolah taman kanak-kanak dimana aku dapat sekolah tersebut di gratiskan karna pihak sekolah melihatku seorang anak dari keturunan bapak Syafi’ih (yaitu Ayahku). Pada saat libur aku diberitahu oleh ibuku, agar aku segera mandi, untuk bersiap membeli sepeda, aku pun tersenyum bahagia dan bersemangat untuk bergegas menuju toko sepeda yang berada di daerah kramat jati, Jakarta Timur. Siang itu kami berangkat, aku, ibu dan kakak perempuanku berangkat untuk membeli sepeda, sepanjang jalan aku hanya membayangkan sepeda baruku, setibanya di toko sepeda yang dituju, aku memilih sepeda yang sesuai dengan kemampuan keuangan ibuku, dan aku pun tak terlalu memaksakan. Dan pada akhirnya aku memilih sepeda kecil yang berwarna merah dengan roda tambahan di roda belakang.
Mungkin bagi ku terdengar ekslusif/mewah karena kami pulang mengendarai taksi. Dan sepedaku di letakkan di bagasi taksi. Dengan harga Rp.150 ribu, aku telah memiliki sepeda baru. Sesampainya di rumah aku taksabar untuk bermain dengan sepedaku, dengan sepeda roda empatku aku mengayuh sepeda dengan besemangat. Kakak-kakak ku melihat sambir berkata “lepas dong roda sampingnya” (maksudnya roda tambahannya) “masa pake roda empat?” dan aku berkata “ogah ah, kaga berani” kakak ku berkata” belajar lah, masa mao gitu-gitu terus” sambil menyemangatiku agar aku belajar mengendarai sepeda roda dua. Dengan bantuan kakak iparku, suami dari kakak perempuanku roda tambahannyapun di lepas. Dengan bantuannya pula aku belajar mengendarai sepeda, dan pada akhirnya aku dapat mengendarai sepeda roda duaku.
Pada suatu hari aku dan teman-teman mengendarai sepeda berkeliling kampung dan melewati daerah madrasyah dimana aku mengaji. Setelah aku dapat mengendarai sepeda aku jarang sekali mengendarai sepedahku dengan perlahan namun aku kebut-kebutan dijalan. Disuatu jalan didaerah madrasyah tempat ku mengaji, terdapat jalan yang menurun dengan tajamnya, dengan modal nekat, aku pun mengayuh sepedaku dengan cepat. Dan ternyata tanpa sadar rem belakang sepedahku tikak terlalu kuat untuk mengerem dan aku putuskan dengan paniknya untuk menggunakan rem depan yang sangat kuat dan pakem saat mengerem. Dengan turunan yang terjal, kecepatan yang tinggi serta melakukan pengereman dengan rem depan yang kuat, akupun terjatuh dengan keras, aku dan sepedaku terjatuh berguling bergerak rolling kedepan, dan sentak aku menangis dengan keras. Ada yang mengabari kakak iparku yang seorang guru ngaji dan menjadi pengajarku saat mengaji, dan menyuruh anaknya untuk menuntunku pulang, keponakanku yang usianya diatasku menuntunku hingga sampai rumah, sepanjang jalanan aku menangis dan diiringi oleh teman-temanku dibelakannya, itulah pemandangan yang memalukan saat aku mengingatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar