Sabtu, 19 Juni 2010

ketika gelar yatim mengikatku


Aku adalah seorang anak yatim yang ditinggal oleh ayahku saat berusia 4 tahun, namaku adalah “Hari Suhara” dipanggil “Heri’, aku pun bingung kenapa namaku Hari dipanggil Heri? Mungkin itu adalah misteri yang belum terpecahkan dalam hidupku.

Ketika itu, dimana ayahku sedang melangsungkan pernikahan anak perempuannya, yaitu kakak perempuan ku yang bernama Fatimah. Dalam suasana yang ramai dan berbahagia, tiba-tiba saat malam yang penuh suasana keramaian dan kebahagiaan berubah menjadi kepanikan karena Ayahku mendadak sakit dan terkulai lemas, kejadian itu mengejutkan keluarga dan para tamu, lalu ayahku dibawa kerumah sakit. ayahku menghembuskan nafas terakhirnya beberapa minggu setelah merayakan pernikahan kakak perempuan ku satu-satunya, dan saat kepergiannya, aku tidak mengerti kenapa kakakku menangis dengan hebatnya saat pulang dari rumah sakit, ketika itu aku berada dirumah dan tidak ikut kerumah sakit. dan pada saat itu pula ibuku hanya dapat menahan kesedihan dan memberikan kesan tegar menjadi seorang istri, dengan bisikan sederhana dari ibuku “heri baba udah meninggal”,seperti halnya anak-anak seusia 4 tahun lainnya, aku bingung. Dan saat di beri penjelasan oleh kakakku, aku hanya dapat menangis yang tak berati saat tahu bahwa ayah ku meninggal. Para tetangga yang ada disekitarku memberikan hiburan dan coba menenangkan ku agar air mataku tak terurai dengan derasnya, dan tangisan ku tak bertahan lama.

Suasana di sekitar rumah ku sangat ramai, tamu dan kerabat dari keluarga besarku datang silih berganti, dengan bingung aku hanya menatap dengan pandangan berkaca-kaca di pelupuk mata ku, dalam hati aku bertanya, “ada apa dengan keramaian ini?”. Beberapa keluarga ku tetap menghibur ku walau berlinangan air mata, agar sekiranya aku tetap tegar. Ketika itu gelar yatim mengikatku.

Ada kejadian yang lucu dalam suasana yang berduka. Pada saat itu disisi masjid didekat rumahku, dan dibalik jendela yang transparan ku melihat ayahku yang sedang disholati, dengan jelasnya terlihat keranda yang berwarna hijau, dan beberapa lama teman-temanku datang untuk mengintip ayah ku di sebelahku, seperti anak-anak kecil yang berusia ± 4 tahun lainnya, kami bertiga, Aku, teman ku yang bernama Sigit dan Hendra mengintip dari jendela masjid. Aku mengintip dengan seriusnya, pada saat itu aku baeranggapan, ayahku yang meninggal tidak ada yang boleh melihatnya selain aku dan keluargaku, dan aku berkata kepada temanku yang bernama Sigit, “Sigit! Jangan liat-liat bapak gua, awas-awas!!” sambil menutupi pandangannya kearah ayahku yang sedang disholati, dan temanku, Sigit yang merasa kesal sekali atas ucapan dan tingkahku saat aku menutupi pandangannya kearah ayahku, dan dia berkata dengan nada kesal dan mengancam, dia berkata,”Pelit banget sih elo Her,Orang Cuma ngeliat doang!! AWAS aja lo kalo Bapak gue mati, gua ga bakal bolehin lo liat!!”, dengan kesalnya, Sigit mengajak Hendra untuk ikut dengannya, “ayo ndra kita pergi aja dari sini! Heri pelit banget” hendra pergi dengan menurut. Kakak perempuanku yang mendengar percakapan ku dengan temanku tertawa kecil Karena sigit temanku berharap jika ayahnya meninggal dalam suasana duka.

Setelah kepergian ayahku, label anak yatim melekatlah kepadaku. Terkadang setiap ku berjalan sepulang dari sekolah, ada saja yang memberi ku uang, ayah ku dikenal oleh warga kampung karena jasanya, yang membantu terbangunnya masjid didekat rumah ku, bukan dengan harta namun membantu tenaga dan keringatnya. Karna itu aku bangga terlahir menjadi anaknya,.semasa beliau hidup, ayahku bekerja di sebuah sekolah sebagai PNS. Karena jasa-jasanya terhadap warga kampung dan dilingkungan beliau bekerja, dan ternyata ayahku dianggap bukan pesuruh sekolah, namun sebagai teman sekaligus seperti seorang kakak bagi guru-guru, karna keberaniannya untuk melindungi dan memberi nasehat.

aku mendapatkan kemudahan-kemudahan saat memasuki jenjang pendidikan TK dan SD, aku masuk sekolah tanpa biaya. Bukan hanya karna aku seorang anak yatim, namun pihak sekolah dasar memberikan bea siswa untukku karna jasa-jasa Ayahku yang mengabdi bekerja untuk sekolah itu, tak dapat dipungkiri, itulah memang jalanku yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.

Saat kepergian Ayahku, aku menuntut ilmu Agama dengan kakak iparku yaitu yang bernama Ustadz Sanan, yang asal kalian tahu, kakak iparku ternyata umurnya lebih tua dari ayahku. Aku pun bingung, tapi yang aku ketahui, pada jaman itu, mungkin sistemnya bukan dasar cinta, namun asal mapan sepertinya, namun aku pun tak heran, karna kakak ku yang pertama usianya berbeda ± 23 tahun, aku anak yang paling terakhir yang dilahirkan ibuku. Setiap sore aku bergegas untuk mengaji di madrasyah yang didirikan oleh kakak iparku. Dalam perjalanan, selalu aku ditegur oleh warga sekitar jalan searah dimana ku mengaji, dikarenakan ayahku sangat dikenal disekitar, karena dahulunya ayahku memiliki banyak sekali kontrakkan, dan sejumlah rumah, namun saat ayahku jatuh sakit, semua rumah dan kontrakkan dijual. Dan yang disisakan hanyalah jatah warisan rumah yang sederhana untuk anak-anaknya. Betapa bangganya ku memiliki seorang Ayah yang supel dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.

Namun saat kepergiannya untuk selama-lamanya ku merasakan kehilangan yang sangat. Hingga tiap malam aku menangis tertahan untuk merindukan ayahku, setiap dalam perjalanan ku mengaji, ku melihat betapa cerianya seorang anak yang tertawa dan bercanda dengan ayahnya, namun hanya ku dapat menundukkan pandangan ku kejalan dan tertahan dalam sedihku, aku sangat rindu Ayahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar